BENDERA BAJO SEBAGAI SEBUAH ASET
BUDAYA YANG PERLU DILESTARIKAN
(Peran Bendera Bajo Dalam Prosesi pernikahan Suku Bajo)
Ula - Ula
Bendera Suku Bajo atau yang lebih dikenal dengan sebutan (Ula-Ula) Di kalangan Masyarakat Bajo adalah merupakan salah satu simbol dari kebudayaan yang dimiliki oleh Suku Bajo atau ( Same) dimana Suku bajo ini merupakan salah satu suku bangsa (etnis) yang terdapat di Indonesia. Suku ini terkenal sebagai suku laut. Suku ini pula tersebar di banyak wilayah pesisir di Indonesia, salah satu tempat diantaranya adalah di daerah pesisir Wuring wilayah Provinsi Nusa Tenggara. Permasalahan yang diangkat dalam tulisan ini adalah mengenai bendera yang dimiliki oleh para keturunan suku Bajo yang belum menjadi aset budaya karena hanya diturunkan secara turun-temurun tanpa pernah ada yang mencatatkan ataupun mendokumentasikan bendera tersebut. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk memberikan sebuah dokumentasi tertulis mengenai bendera Bajo, meskipun tidak bisa secara sempurna.
Ada bemacam-macam simbol ritual yang dipakai secara turun-temurun oleh masyarakat Bajo yang tersebar di Rajuni, Latondu, Rajuni Besar, Tarupa, Pasitallu, Kayuadi, karumpa dan pulau lainnya termasuk pula masyarakat di Wuring . Simbol-simbol ini menandakan ‘kelas’ dari keturunan orang Bajo. Keturunan ningrat disebut dengan sebutan (Lolo Bajo) selain mengibarkan benderapada saat upacara perkawinan. Lolo Bajo, juga akan menggerek “ula-ula” Bendera yang berbentuk menyerupai manusia. Bersamaan dengan pengibaran bendera Lolo Bajo di pihak pengantin perempuan, di kediaman pengantin pria dikibarkan pula bendera “ula-ula” Bendera “ula-ula” ini ada 2 macam ada yang berwarna hitam dalam masyarakat bajo dikenal dengan sebutan “Si Lo’ong”, dan ada pula yang berwarna Putih Atau “Si Pote “ serta pemasangan Campaniga.
Campaniga ini dipasang pada kelambu ranjang pengantin juga harus dilengkapi dengan beberapa peralatan, seperti lilin merah dan dupa. Hampir tak ada lagi tetua adat yang berperan khusus untuk itu saat ini. Peran ini kemudian diambilalih oleh orang-orang tua yang disepakati oleh keluarga pengantin, dan orang-orang dari pihak keluarga yang merupakan keturunan Lolo Bajo.
Biasanya pengibaran “ula-ula” dilakukan setelah rombongan kembali dari mengantar belanja ( Mahar ) karena pengibaran ini juga membutuhkan pelibatan pukulan Gendang Sandro .Gendang sanro yang mengiringi pengibaran itu dibawakan oleh dua pemukul gendang, seorang pemukul gong dan seorang lagi memukul sisi gong dengan setangkai kayu. Biasanya iringan gendang ini juga disertai pukulan gong-gong kecil, namun alat ini sudah tidak ditemukan lagi.
Konon jika ada prosesi yang salah dalam pengibaran bendera Lolo Bajo dan
“ula-ula”, maka biasanya akan ada orang dari pihak keluarga atau pengunjung yang kesurupan. Kejadian ini akan berakhir jika prosesi diulangi dan dibetulkan tata caranya. Bendera Lolo Bajo dan “ula-ula” dikibarkan dengan seutas tali nilon pada setangkai bambu. Simbol ini akan terpasang selama pesta dan prosesi pesta perkawinan berlangsung, Bukan hanya pada acara perkawinan saja ritual ini di adakan namun pada acara-acara hajatan keturunan Lolo Bajo pun ritual ini selalu dikedepankan
Setiap harinya, mulai dari persiapan hingga akhir acara, pihak keluarga pengantin akan menjamu makan setiap tamu yang datang. Makan pagi, siang dan malam hari, juga dengan penganan kue serta minuman pada pagi dan sore hari. Tentunya prosesi ini mahal ongkosnya, namun lebih menjadi simbol persatuan, kekeluargaan dan gotong-royong masyarakat Bajo.